Senin, 16 Mei 2011

PERAN UKM DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA

Usaha kecil menengah adalah usaha yang dijalankan oleh 1 atau 2 orang saja, atau usaha yang memiliki modal lebih kecil dari Rp. 50.000.000, disebut usaha kecil dan usaha memiliki modal lebih kecil dari Rp. 200.000.000 disebut usaha menengah. tetapi ada pula yang menyebutkan usaha yang dijalankan 50-60 orang masih tergolong usaha kecil menengah.Wiraswasta dalam usaha bisnis menengah dan kecil sangat menunjang perekonomian bangsa Indonesia dikarenakan dengan adanya unit usaha kecil dan menengah selain menguranggi jumlah angka penganguran UMKM juga berperan penting yang dapat dilihat dari beberapa aspek, yaitu jumlah unit usaha yang terbentuk, penyerapan tenaga kerja, perannya dalam peningkatan produk domestik bruto (PDB) dan sumbangannya terhadap ekspor nasional. Dalam kurun waktu 1997-2001 rata-rata unit UMKM secara nasional mencapai 99,81% dari total perusahaan yang ada. OLeh sebab itu pemerintah harus ikut campur tanggan mengenai pengembangan dan kelangsungan Hidup suatu usaha kecil dan menengah, dengan cara memberi modal pinjaman tunai dengan bungah rendah.
Agar UMKM dapat bersaing dalam pasar nasional dengan unit usaha yang dikelolah oleh Investor Asing. Dikarenakan banyak UMKM yang sudah tidak Bangkrut dikarenakan kalah bersaing dengan pasar-pasar moderen di karenakan kekurangan modal dan tidak mampu melunasi bunga pinjaman yang tinggi. Berkaitan dengan pertumbuhan UMKM tersebut, perlu dilihat
hubungan antara pertumbuhan UMKM dengan kemiskinan pada masyarakat, dan juga peran UKM mengurangi kemiskinan sehingga dapat digunakan untuk mengidentifikasi langkahlangkah kebijakan yang dapat ditempuh dalam pengembangan UMKM dalam rangka mengurangi kemiskinan. Namun jika pemerintah tidak campur tanggan dalam UMKM maka dengan sendirinya UMKM akan semakin merosotkan petan uasaha kecil disektor pertanian dan perdagangan.
Dengan semakin merosotnya peran usaha kecil di sektor pertanian dan perdagangan, maka dua penyumbang besar terhadap nilai tambah dari kelompok usaha kecil ini dominasinya juga akan semakin mengecil dalam pembentukan PDB. Sehingga jika kecenderungan ini dibiarkan maka posisi usaha kecil akan kembali seperti sebelum krisis atau bahkan mengecil. Sementara itu usaha menengah yang sejak krisis mengalami kemerosotan diberbagai sektor, maka posisi usaha menengah semakin tidak menguntungkan. Padahal dalam proses modernisasi dan demokratisasi peranan kelas menengah ini sangat penting terutama untuk meningkatkan daya saing. Karena usaha menengah lebih mudah melakukan modernisasi dan mengembangkan jaringan ke luar negeri dalam rangka perluasan pasar

Usaha Kecil, dan Menengah (UKM) memiliki peran penting dalam perekonomian Indonesia. Karena dengan UKM ini, pengangguran akibat angkatan kerja yang tidak terserap dalam dunia kerja menjadi berkurang.
Sektor UKM telah dipromosikan dan dijadikan sebagai agenda utama pembangunan ekonomi Indonesia. Sektor UKM telah terbukti tangguh, ketika terjadi Krisis Ekonomi 1998, hanya sektor UKM yang bertahan dari kolapsnya ekonomi, sementara sektor yang lebih besar justru tumbang oleh krisis. Mudradjad Kuncoro dalam Harian Bisnis Indonesia pada tanggal 21 Oktober 2008 mengemukakan bahwa UKM terbukti tahan terhadap krisis dan mampu survive karena, pertama, tidak memiliki utang luar negeri. Kedua, tidak banyak utang ke perbankan karena mereka dianggap unbankable. Ketiga, menggunakan input lokal. Keempat, berorientasi ekspor. Selama 1997-2006, jumlah perusahaan berskala UKM mencapai 99% dari keseluruhan unit usaha di Indonesia. Sumbangan UKM terhadap produk domestik bruto mencapai 54%-57%. Sumbangan UKM terhadap penyerapan tenaga kerja sekitar 96%. Sebanyak 91% UKM melakukan kegiatan ekspor melalui pihak ketiga eksportir/pedagang perantara. Hanya 8,8% yang berhubungan langsung dengan pembeli/importir di luar negeri.1
kualitas jasa juga dapat dimaksimalkan dengan adanya penguasaan teknologi. Penguasaan teknologi ini dapat memberikan kontribusi positif dalam pengelolaan, sehingga organisasi dapat lebih terkontrol dengan mudah. Oleh sebab itu, organisasi harus selalu mengikuti dinamika perubahan teknologi yang terjadi.

Peranan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dalam perekonomian Indonesia pada dasarnya sudah besar sejak dulu. Namun demikian sejak krisis ekonomi melanda Indonesia, peranan UKM meningkat dengan tajam. Data dari Biro Pusat Statistik1 (BPS). menunjukkan bahwa persentase jumlah UKM dibandingkan total perusahaan pada tahun 2001 adalah sebesar 99,9%. Pada tahun yang sama, jumlah tenaga kerja yang terserap oleh sektor ini mencapai 99,4% dari total tenaga kerja. Demikian juga sumbangannya pada Produk Domestik Bruto (PDB) juga besar, lebih dari separuh ekonomi kita didukung
oleh produksi dari UKM (59,3%). Data-data tersebut menunjukkan bahwa peranan UKM dalam perekonomian Indonesia adalah sentral dalam menyediakan lapangan pekerjaan dan menghasilkan output.
Meskipun peranan UKM dalam perekonomian Indonesia adalah sentral, namun kebijakan pemerintah maupun pengaturan yang mendukungnya sampai sekarang dirasa belum maksimal. Hal ini dapat dilihat bahkan dari hal yang paling mendasar seperti definisi yang berbeda untuk antar instansi pemerintahan. Demikian juga kebijakan yang diambil yang cenderung berlebihan namun tidak efektif, hinga kebijakan menjadi kurang komprehensif, kurang terarah, serta bersifat tambal-sulam. Padahal UKM masih memiliki banyak permasalahan yang perlu mendapatkan penanganan dari otoritas untuk mengatasi keterbatasan akses ke kredit bank/sumber permodalan lain dan akses pasar. Selain itu kelemahan dalam organisasi, manajemen, maupun penguasaan teknologi juga perlu dibenahi. Masih banyaknya permasalahan yang dihadapi oleh UKM membuat kemampuan UKM berkiprah dalam perekonomian nasional tidak dapat maksimal. Salah satu permasalahan yang dianggap mendasar adalah adanya kecendrungan
dari pemerintah dalam menjalankan program untuk pengembangan UKM seringkali merupakan tindakan koreksi terhadap kebijakan lain yang berdampak merugikan usaha kecil (seperti halnya yang pernah terjadi di Jepang di mana kebijakan UKM diarahkan untuk mengkoreksi kesenjangan antara usaha besar dan UKM), sehingga sifatnya adalah tambal-sulam. Padahal seperti kita ketahui bahwa diberlakunya kebijakan yang bersifat
tambal-sulam membuat tidak adanya kesinambungan dan konsistensi dari peraturan dan pelaksanaannya, sehingga tujuan pengembangan UKM pun kurang tercapai secara maksimal. Oleh karena itu perlu bagi Indonesia untuk membenahi penanganan UKM dengan serius, agar supaya dapat memanfaatkan potensinya secara maksimal. Salah satu pembenahan utama yang diperlukan adalah dari aspek regulasinya.



Potret UKM

UKM kurang mendapatkan perhatian di Indonesia sebelum krisis pecah pada tahun 1997. Namun demikian sejak krisis ekonomi melanda Indonesia (yang telah meruntuhkan banyak usaha besar) sebagian besar UKM tetap bertahan, dan bahkan jumlahnya meningkat dengan pesat perhatian pada UKM menjadi lebih besar, kuatnya daya tahan UKM juga didukung oleh struktur permodalannya yang lebih banyak tergantung pada dana sendiri (73%), 4% bank swasta, 11% bank pemerintah, dan 3% supplier (Azis, 2001). Demikian juga kemampuannya menyerap tenaga kerja juga semakin meningkat dari sekitar 12 juta pada tahun 1980, tahun 1990, dan 1993 angka ini meningkat menjadi sekitar 45 juta dan 71 juta (data BPS), dan pada tahun 2001 menjadi 74,5 juta. Jumlah UKM yang ada meningkat dengan pesat, dari sekitar 7 ribu pada tahun 1980 menjadi sekitar 40 juta pada tahun 2001. Sementara itu total volume usaha, usaha kecil dengan modal di bawah Rp. 1 miliar yang merupakan 99,85% dari total unit usaha, mampu menyerap 88,59% dari total tenaga kerja pada tahun yang sama. Demikian juga usaha skala menengah (0,14% dari total usaha) dengan nilai modal antara Rp. 1 miliar sampai Rp. 50 miliar hanya mampu menyerap 10,83% tenaga kerja. Sedangkan usaha skala besar (0,01%) dengan modal di atas Rp. 54 miliar hanya mampu menyerap 0,56% tenaga kerja. Melihat sumbangannya pada perekonomian yang semakin penting, UKM seharusnya mendapat perhatian yang semakin besar dari para pengambil kebijakan. khususnya lembaga pemerintahan yang bertanggung jawab atas perkembangan UKM. Pengembangan UKM diIndonesia selama ini dilakukan oleh Kantor Menteri Negara
Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kementerian Negera KUKM). Selain Kementrian Negara KUKM, instansi yang lain seperti Depperindag, Depkeu, dan BI juga melaksanakan fungsi pengembangan UKM sesuai dengan wewenang masing-masing. Di mana Depperindag melaksanakan fungsi pengembangan Industri Kecil dan Menengah (IKM) dengan menyusun Rencana Induk Pengembangan Industri Kecil Menengah tahun 2002-2004. Demikian juga Departemen Keuangan melalui SK Menteri Keuangan (Menkeu) No. 316/KMK.016/1994 mewajibkan BUMN untuk menyisihkan 1-5% Iaba
perusahaan bagi pembinaan usaha kecil dan koperasi (PUKK). Bank Indonesia sebagai otoritas keuangan dahulu mengeluarkan peraturan mengenai kredit bank untuk UKM, meskipun akhir-akhir ini tidak ada kebijakan khusus terhadap Perbankan mengenai pemberian kredit ke usaha kecil lagi. Demikian juga kantor ataupun instansi lainnya yang terlibat dalam “bisnis” UKM juga banyak. Meski banyak yang terlibat dalam pengembangan UKM namun tugas
pengembangam UKM yang dilimpahkan kepada instansi-instansi tersebut diwarnai banyak isu negatif misalnya politisasi terhadap KUKM, terutama koperasi serta pemberian dana subsidi JPS yang tidak jelas dan tidak terarah. Demikian juga kewajiban BUMN untuk menyisihkan labanya 1 – 5% juga tidak dikelola dan dilaksanakan dengan baik.
Kebanyakan BUMN memilih persentase terkecil, yaitu 1 %, sementara banyak UKM yang mengaku kesulitan mengakses dana tersebut. Selain itu kredit perbankan juga sulit untuk diakses oleh UKM, di antaranya karena prosedur yang rumit serta banyaknya UKM yang belum bankable. Apalagi BI tidak lagi membantu usaha kecil dalam bidang permodalan secara lansung dengan diberlakukannya UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Selain permasalahan yang sudah disebutkan sebelumnya, secara umum UKM
sendiri menghadapi dua permasalahan utama, yaitu masalah finansial dan masalah nonfinansial (organisasi manajemen). Masalah yang termasuk dalam masalah finansial di antaranya adalah (Urata, 2000):
• kurangnya kesesuain (terjadinya mismatch) antara dana yang tersedia yang dapat
diakses oleh UKM
• tidak adanya pendekatan yang sistematis dalam pendanaan UKM
• Biaya transaksi yang tinggi, yang disebabkan oleh prosedur kredit yang cukup
rumit sehingga menyita banyak waktu sementara jumlah kredit yang dikucurkan
kecil
• kurangnya akses ke sumber dana yang formal, baik disebabkan oleh ketiadaan
bank di pelosok maupun tidak tersedianya informasi yang memadai
• bunga kredit untuk investasi maupun modal kerja yang cukup tinggi
• banyak UKM yang belum bankable, baik disebabkan belum adanya manajemen
keuangan yang transparan maupun kurangnya kemampuan manajerial dan
finansial
Sedangkan termasuk dalam masalah organisasi manajemen (non-finansial) di antaranya
adalah :
• kurangnya pengetahuan atas teknologi produksi dan quality control yang
disebabkan oleh minimnya kesempatan untuk mengikuti perkembangan teknologi
serta kurangnya pendidikan dan pelatihan
• kurangnya pengetahuan atcan pemasaran, yang disebabkan oleb terbatasnya
informasi yang dapat dijangkau oleh UKM mengenai pasar, selain karena
ketetbatasan kemampuan UKM untuk roonyediakanproduk/ jasa yang sesuai
dengan keinginan pasar
• keterbatasan sumber daya manusia (SDM) secara kurangnya sumber daya untuk
mengembangkan SDM2
• kurangnya pemahaman mengenai keuangan dan akuntansi
Di samping dua permasalahan utama di atas, UKM juga menghadapi
permasalahan linkage dengan perusahaan serta ekspor. Permasalahan yang terkait
dengan linkage antar perusahaan di antaranya sebagai berikut :
• Industri pendukung yang lemah.
• UKM yang memanfaatkan/menggunakan sistem duster dalam bisnis belum
banyak.
Sedangkan permasalahan yang terkait dengan ekspor di antaranya sebagai
berikut:
• kurangnya informasi mengenai pasar ekspor yang dapat dimanfaatkan.
• Kurangnya lembaga yang dapat membantu mengembangkan ekspor.
• Sulitnya mendapatkan sumber dana untuk ekspor.
• Pengurusan dokumen yang diperlukan untuk ekspor yang birokratis.
Beberapa hal yang ditengarai menjadi faktor penyebab permasalahanpermasalahan di atas adalah: pelaksanaan undang-undang dan peraturan yang berkaitan dengan UKM, termasuk masalah perpajakan yang belum memadai; masih terjadinya mismatch antara fasilitas yang disediakan oleh pemerintah dan kebutuhan UKM; serta kurangnya linkage antar UKM sendiri atau antara UKM dengan industri yang lebih besar (Urata, 2000). Hal ini tentunya membutuhkan penanganan yang serius serta terkait erat dengan kebijakan pemerintah yang dibuat untuk mengembangkan UKM.

Sumber : http://www.lfip.org/english/pdf/bali-seminar/Regulasi%20dalam%20revitalisasi%20-%20sri%20adiningsih.pdf

Sumber: http://id.shvoong.com/business-management/human-resources/2034751-peran-ukm-dalam-perekonomian-indonesia/#ixzz1MZxJrlx4

Selasa, 10 Mei 2011

PROFIL KEMISKINAN DAN PENANGGULANGANNYA DI INDONESIA
Profil penduduk miskin

Kemiskinan merupakan suatu persoalan yang pelik dan multidimensional. Ia merupakan bagian tak terpisahkan dari pembangunan dan mekanisme ekonomi, sosial dan politik yang berlaku Setiap upaya penanggulangan masalah kemiskinan secara tuntas menuntut peninjauan sampai ke akar masalah, tak ada jalan pintas untuk menanggulangi masalah kemiskinan ini.

Penanggulangannya tidak bisa dilakukan dengan tergesa-gesa. Kalaupun kita telah berketetapan hati untuk mengenyahkan kemiskinan dalam waktu yang relatif singkat, niscaya yang bisa teratasi hanya sebagian saja.

Dalam pelaksanaan program pengentasan nasib orang miskin, keberhasilannya tergantung pada langkah awal dari formulasi kebijakan, yaitu dengan tidak memperlakukan si miskin ini secara pukul rata, tetapi terlebih dahulu mengidentifikasikan siapa sebenarnya si miskin tersebut dan dimana ia berada. Kedua pertanyaan itu dapat dijawab dengan melihat profil si miskin itu sendiri, antara lain berupa karakteristik ekonominya, seperti sumber pendapatan, pola konsumsi/pengeluaran, tingkat beban tanggungan dan lain lain. Juga perlu diperhatikan profil si miskin yang berupa karakteristik sosial budaya dan karakteristik demografinya seperti tingkat pendidikan, cara memperoleh fasilitas kesehatan, jumlah anggota keluarga, dlsb.

Pertanyaan kedua tentang dimana si miskin berada, dapat dijawab dengan melihat karakteristik geografisnya, yaitu dengan menentukan dimana penduduk miskin terkonsentrasi, apakah di desa atau di kota, selanjutnya secara lebih mendalam dapat dilakukan kombinasi antara karakteristik sosial budaya, ekonomi, dan demografi, termasuk karakteristik geografisnya. Misalnya untuk daerah perkotaan perlu diketahui apakah mereka yang termasuk miskin tersebut lebih banyak bekerja di sektor-sektor bangunan dan konstruksi ataukah sektor perdagangan. Sedang di daerah pedesaan , harus diketahui apakah yang miskin ini lebih banyak sebagai pekerja pertanian (petani) atau pekerja perikanan (nelayan).

Dengan memperhatikan profil kemiskinan, maka diharapkan kebijakan yang disusun dalam mengentaskan orang miskin akan lebih terarah dan lebih tepat sasaran Demikian pula, akan dapat dievaluasi apakah kebijakan pemerintah yang diaplikasikan selama ini mendukung atau malah justru bertentangan dengan usaha mengurangi jumlah penduduk miskin.

Bagian ini mendiskripsikan siapa si miskin tersebut dan dimana ia berada dengan membuat suatu profil kemiskinan yang selengkap dan semutakhir mungkin. Usaha ini tentu saja banyak bergantung pada ketersediaan data agregat baik secara nasional maupun provinsi, yang memuat berbagai macam informasi tentang keadaan ekonomi, sosial budaya, serta kondisi demografi dan lokasi geografi penduduk Secara nasional misalnya dapat kita ambil data dari hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) yang dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS).

Upaya Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia

Program pengentasan kemiskinan yang selama ini telah dilaksanakan oleh pemerintah seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT), Raskin dan lain sebagainya, memang bertujuan untuk membantu orang miskin, namun barangkali perlu dipertanyakan apakah program ini juga merupakan program pengentasan kemiskinan atau hanya sekedar program pelipur lara bagi orang miskin, karena pada hakekatnya si miskin tetap pada kemiskinannya.

Dalam memaparkan profil kemiskinan, rumah tangga, keluarga dan juga anggota rumah tangga dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu kelompok (anggota) rumah tangga miskin, dan tidak miskin. Rumah tangga miskin adalah rumah tangga yang konsumsinya tidak mencukupi kebutuhan minimum akan makanan dan non makanan yang nilainya diwakili oleh suatu garis kemiskinan. Rumah tangga tidak miskin adalah yang konsumsi per kepalanya di atas garis kemiskinan. Rumah tangga tidak miskin adalah yang konsumsi per kepalanya di atas garis kemiskinan berdasarkan metode Badan Pusat Statistik (BPS).

Lembaga pemerintah non departemen lainnya yang memiliki metode atau profil kemiskinan adalah Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), yang memiliki kriteria keluarga yang digolongkan atas lima tahapan, yaitu Keluarga Pra Sejahtera, Keluarga Sejahtera I, Keluarga Sejahtera II, Keluarga Sejahera III, dan Keluarga Sejahtera III Plus.
Keluarga Pra Sejahtera adalah merupakan tahapan bagi keluarga yang kurang mampu dengan ciri-ciri berikut :
(i)pada umumnya anggota keluarga makan kurang dari dua kali/lebih sehari
(ii)anggota keluarga tidak memiliki pakaian yang berbeda untuk di rumah, bekerja/sekolah atau bepergian
(iii)rumah yang ditempati keluarga tidak mempunyai atap, lantai dan dinding yang baik (layak huni),
(iv)bila pasangan suami isteri ingin ber KB tidak pergi ke sarana pelayanan kesehatan,
(v)tidak semua anak dalam keluarga yang berumur 7 - 15 th bersekolah.
Bila terdapat keluarga yang termasuk pada salah satu kategori diatas karena alasan materi, maka keluarga tersebut dapat digolongkan sebagai keluarga pra sejahtera.
Dari hasil pendataan keluarga yang dilaksanakan BKKBN pada tahun 2007 di Provinsi Banten diperoleh data keluarga pra sejahtera sebanyak 459.685 keluarga, menurun bila dibandingkan dengan data pada tahun 2006 yaitu sebanyak 462.578 keluarga pra sejahtera (Banten dalam angka 2006)

Penduduk miskin berdasarkan geografis

Penduduk miskin umumnya lebih banyak berada di daerah pedesaan daripada di daerah perkotaan. Sebagaimana kita ketahui bersama, pengangguran tersembunyi masih cukup banyak di daerah pedesaan, mereka ini pada umumnya merupakan buruh tani yang tidak memiliki lahan atau pengusaha tani dengan modal minim dimana akses ke lembaga keuangan formalpun sangat terbatas. Terlalu minimnya kepemilikan faktor-faktor produksi di luar tenaga kerja oleh penduduk desa ini mengakibatkan mereka sangat sulit untuk meningkatkan taraf kehidupannya.

Namun demikian, dari waktu ke waktu terjadi penurunan jumlah yang miskin di pedesaan sementara jumlah yang miskin di perkotaan terus meningkat. Fenomena ini salah satunya dapat dijelaskan oleh adanya pengalihan orang miskin dari pedesaan ke perkotaan melalui urbanisasi atau migrasi dari desa-ke kota. Pengangguran tersembunyi di pedesaan, yaitu buruh tani maupun petani gurem, tidak dapat memasuki sektor-sektor formal di perkotaan yang sangat terproteksi. Akibatnya mereka berkelana di sektor non formal perkotaan, baik sebagai penjual baso, pedagang asongan, pedagang kaki lima, pengamen, pemulung, gelandangan, bahkan pengemis dimana sebagian dari profesi ini membuat mereka tetap tergolong miskin.
Karakteristik demografis penduduk miskin

Beberapa karakteristik demografis dari rumah tangga miskin diantaranya adalah mengenai jumlah anggota keluarga dan tingkat beban tanggungan (dependency ratio), yaitu dengan membagi jumlah anggota rumah tangga/keluarga dengan jumlah anggota rumah tangga/keluarga yang bekerja. Tingkat beban tanggungan ini menunjukkan jumlah tanggungan dari setiap orang yang bekerja.(memperoleh upah atau penghasilan), dengan demikian tingkat beban tanggungan ini menunjukkan jumlah tanggungan dari setiap orang yang bekerja.

Secara umum keluarga miskin cenderung memiliki jumlah anggota keluarga lebih banyak dibandingkan keluarga tidak miskin. Jumlah anggota keluarga rata-rata rumah tangga miskin di Indonesia berdasarkan SUSENAS 1990 adalah 5,8 jiwa, sedang rumah tangga tidak miskin hanya 4,5 jiwa. Variabel jumlah anggota rumah tangga sangat dominan sebagai penentu tahapan kesejahteraan keluarga, semakin besar jumlah anggota keluarga, semakin cenderung keluarga tersebut termasuk dalam golongan keluarga miskin.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa program Keluarga Berencana yang salah satunya bertujuan membatasi jumlah anggota keluarga merupakan salah satu kebijakan yang sejalan dengan usaha pengentasan kemiskinan.

Data tersebut juga menunjukkan bahwa jumlah beban tanggungan keluarga miskin lebih besar dibandingkan dengan keluarga tidak miskin. Hal ini selain menunjukkan adanya korelasi yang tinggi dengan jumlah anggota keluarga miskin, juga menunjukkan bahwa tingkat pendapatan yang rendah dari anggota keluarga yang bekerja belum memadai guna membiayai semua anggota keluarganya. Secara umum setiap anggota rumah tangga yang miskin yang bekerja rata-rata menanggung 5,3 jiwa, sedangkan rumah tangga tidak miskin hanya 4,1 jiwa. berarti porsi pendapatan keluarga miskin yang digunakan untuk konsumsi lebih besar daripada keluarga tak miskin, akibatnya tidak ada uang yang dapat disisihkan untuk tabungan, sehingga kesempatan untuk memperbaiki taraf kehidupannya juga sangat terbatas.

Penyediaan lapangan kerja yang seluas-luasnya dan kemudahan dalam berusaha merupakan salah satu kebijakan yang tepat dalam usaha pengentasan rumah tangga miskin. Penyediaan lapangan pekerjaan dan kemudahan usaha ini perlu dibarengi dengan peningkatan produktivitas dan renumerasi (imbalan jasa faktor produksi) Dengan demikian pendapatan yang dibawa pulang (take home pay) dari pekerja/pengusaha yang bersangkutan dapat memadai untuk membiayai tanggungannya dan tersisa pula sebagian untuk ditabung yang berguna untuk pembentukan modal untuk memulai usaha atau mengembangkan usaha yang sudah ada.

Karakteristik ekonomi penduduk miskin

Dari hasil Susenas 90 tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar (66 %) kepala rumah tangga miskin adalah para pemilik usaha (yang memperoleh penghasilan, keuntungan atau bagian keuntungan dari usahanya.), lebih besar bila dibandingkan dengan yang memiliki jabatan/pekerjaan sebagai buruh, di daerah perkotaan jumlah kepala rumah tangga miskin yang pengusaha hampir sama jumlahnya dengan yang menjadi buruh, sedang di daerah-daerah pedesaan kebanyakan kepala keluarga miskin adalah para pengusaha gurem atau pengusaha lemah yang memberikan indikasi perlunya berbagai kebijakan dalam mengembangkan usaha kecil di pedesaan agar dapat lebih berkembang dan produktif sehingga meningkatkan kesejahteraan pemiliknya. Kebijakan yang diperlukan berupa langkah-langkah untuk mengatasi baik permasalahan penyediaan modal dan bahan baku, permasalahan produksi dan pengelolaan usaha, maupun permasalahan pemasaran.


Karakteristik Sosial Budaya

Dari hasil Susenas 90 itu pula tercatat bahwa tingkat pendidikan anggota rumah tangga miskin pada umumnya lebih rendah daripada anggota rumah tangga tidak miskin. Hanya 6,8 persen dari anggota rumah tangga miskin berpendidikan paling kurang SLTP, sedangkan untuk anggota rumah tangga tidak miskin ada 18,6 persen. Kemudian lebih dari 70 persen anggota rumah tangga miskin yang tidak sekolah atau tidak/belum tamat SD (Sekolah Dasar), sedangkan untuk rumah tangga tidak miskin yang tidak sekolah atau tidak/belum tamat SD sekitar 55,5 persen.

Salah satu upaya pengentasan kemiskinan yang dapat dikemukakan di Provinsi Banten ini adalah upaya BKKBN dalam membentuk kelompok-kelompok Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera (UPPKS) yang tersebar di Provinsi Banten, anggota kelompoknya adalah para akseptor KB dari keluarga Pra Sejahtera dan Keluarga Sejahtera I, kelompok- kelompok UPPKS ini melakukan usaha ekonomi produktif atau home industri, jasa pelayanan dsb. di daerahnya sendiri.
Dari 4450 keluarga Pra Sejahtera dan 6865 keluarga Sejahtera I, telah terbentuk 811 kelompok UPPKS.

Dana yang telah digulirkan dari APBN untuk bantuan modal UPPKS ini selama periode 2006 -2007 berjumlah Rp. 485 juta, yaitu untuk 102 kelompok, dan dari dana tersebut telah bergulir lagi dana sebanyak Rp. 150 juta yang diberikan kembali pada 31 kelompok UPPKS. Selanjutnya direncanakan pada tahun 2008 ini untuk menggulirkan dana pada 36 kelompok.(Sumber : BKKBN, 2008)

Namun disayangkan, kegiatan yang positif bagi upaya pengentasan kemiskinan di Provinsi Banten ini belum sepenuhnya mendapat respons dari pemerintah daerah, hingga sampai saat ini bantuan yang berasal dari APBN Provinsi Banten sendiri masih belum mengucur sebagaimana yang diharapkan.

Demikianlah beberapa pandangan dari penulis yang dapat diketengahkan penulis sekaitan dengan profil serta upaya pengentasan kemiskinan di Indonesia umumnya dan di Banten pada khususnya, semoga dapat menjadi bahan renungan bagi kita semua.

Sumber bacaan : Indonesia menjelang abad XXI, Faisal Basri, 1990.

Serang, Juli 2008
Djeny Ruslan.
Widyaiswara BKKBN Prov. Banten